Gerimis (Cerita Pendek) Oleh Raditya Dika


Gerimis (Cerita Pendek) oleh Raditya Dika - Hallo seluruhnya kali ini saya akan membagikan terhadap kalian semua suatu kisah pendek dari raditya dika seorang conten creator di dunia youtube yang baru-baru ini menghasilkan suatu konten kisah pendek di channel youtubenya, untuk kalian semua yang ingin tau akan ceritanya eksklusif saja kita simak di bawah ini ya.

Tokoh utama kita berjulukan Alfred, atau sebagaimana teman-temannya memanggilnya: Kampret. Di antara pertemanan sesama cowok, memang ada kecenderungan menghasilkan nama keren yang susah-susah dikasih oleh orang bau tanah menjadi lebih culun. Di SD beliau diundang Alfred, di-SMP, beliau diundang Kepret, gres di Sekolah Menengan Atas beliau diundang Kampret. Nama ini terbawa terus hingga sekarang, dikala beliau sudah kerja di suatu perusahaan telekomunikasi di Jakarta.

Anehnya, di saat temannya berkunjung ke tempat tinggal dan berjumpa orang tuanya, temannya bilang, ‘Kampret ada, Om?’ Bapaknya Alfred malah menjawab, ‘Oh ada tuh di dalam.’ Seolah mengamini bahwa anaknya sejenis kelelawar pemakan buah.


Alfred merupakan sosok lelaki yang di saat kau berpapasan di supermarket, kau tidak akan pernah ingat sama sekali kau pernah papasan dengannya. Dia merupakan orang yang lazim saja. Berbaur dengan keramaian. Menyatu dengan oksigen.

Tidak ada yang tahu bahwa beliau punya bekas luka di tangan kanannya, hasil dari bermain di comberan di saat kelas enam SD. Tidak ada yang tahu beliau suka baca novel detektif. Alfred merupakan tipikal orang yang tiap kali beliau potong rambut, tidak ada satupun orang yang sadar, hingga rambutnya panjang lagi.

Sekarang, Alfred sedang patah hati.

Di tengah pandemi menyerupai ini, ternyata ada yang lebih buruk di tahun 2020 bagi Alfred. Dia gres saja diputusin oleh pacarnya selama lima tahun belakangan ini. Nama wanita itu adalah: Lisa. Tempat terjadinya pemutusan secara tidak berkepripacaran itu merupakan di kamar Alfred, pukul 11 malam. Alfred gres saja selesai menonton episode terakhir dari drama korea Hai Bye Mama. Handphone-nya berbunyi.

Isinya Whatsapp sederhana dari Lisa: ‘Aku rasa sudah waktunya kita selesai.’ Dengan polos Alfred membalas, ‘Selesai apa?’ ‘Selesai. Kita mesti akhiri kisah cinta ini.’ Lisa mutusin Alfred dengan bahasa yang sungguh baku, seolah dikutip eksklusif dari lagu cinta yang ramai di radio.

Respon Alfred dikala itu biasa saja. Dia cuma bilang, ‘Ya sudah kalau kau maunya begitu.’ Sesungguhnya beliau sudah menyaksikan ini akan terjadi. Seperti mengendarai suatu mobil, beliau sudah bisa menyaksikan dari jauh kalau lampu kemudian lintas akan menjadi warna merah. Alfred cuma tidak mengira waktunya secepat itu.

Dia sudah punya feeling, alasannya merupakan setiap kali beliau meminta ketemu dengan Lisa, Lisa tidak mau. Alasan Lisa, kini kan lagi pandemi, nanti kau bawa virus. Bahkan di saat Alfred menampilkan untuk swab test, seharga seperlima dari gajinya setiap bulan, Lisa masih tidak mau. ‘Jangan,’ kata Lisa. ‘Siapa tahu swab test-nya salah.’ ‘Lah namanya swab test kok bisa salah?’ tanya Alfred ‘Yah, namanya insan tidak luput dari kesalahan,’ begitu ucap Lisa.

Anehnya, Lisa masih nongkrong sama teman-temannya. Update di story instagram dengan kawan dekat yang lain, tanpa masker, pakai stiker Good Vibes Only, atau I Love Friday. Postingan tersebut juga tidak di close friend, yang menghasilkan Alfred bertanya-tanya, kenapa Lisa tidak berupaya menyembunyikan hal tersebut dari dirinya. Seolah ada sinyal yang beliau mau berikan. Seolah Lisa mau bilang, ‘Gue emang gak mau ketemu lo lagi.’

Tapi ya sudahlah, mungkin korelasi beliau dan Lisa mesti berakhir, begitu pikir Alfred. Walaupun lima tahun rasanya waktu yang terlalu usang untuk diakhiri dengan suatu kalimat sederhana.

Ketika diputusin, Alfred tidak nangis. Tidak, beliau cuma duduk, memeluk bantal Iron Man kesukaannya, kemudian tidak mencicipi apa-apa. Aneh ya, bagaimana putus cinta biasa digambarkan dengan perasaan yang sungguh sakit, tetapi kali ini yang terasa justru sebaliknya: hampa.

Seperti seseorang yang gres saja dipukul di kepala, mungkin respon pertamanya merupakan kok gak sakit ya, eh tiba-tiba gelap aja. Pingsan di tengah jalan. Itu yang terjadi. Tepat lima jam sehabis diputusin, topan memori menabrak asumsi Alfred. Dia menangis hingga beliau tidak mengerti suaranya sendiri.

Alfred menangis cukup keras untuk ukuran lelaki 24 tahun. Alfred masih tinggal dengan orangtuanya, dan orangtuanya mendengar bunyi tangisan itu dari kamar mereka. Bapaknya mengetuk pintu kamar, membukanya, dan bertanya, ‘Nak, kau kenapa?’

Bapak Alfred menyaksikan anaknya duduk di atas kasur. Selimut berantakan. Air mata membasahi pipinya. ‘Gak kenapa-napa,’ kata Alfred, sambil terburu-buru meniadakan pipinya yang berair kuyup.


Bapak Alfred eksklusif memeluk anaknya erat, dan dalam pelukannya, sambil menyaksikan laptop yang masih terbuka, beliau berbisik terhadap Alfred, ‘Papa ngerti kok nak, emang endingnya Hai Bye, Mama sedih banget.’

Alfred, yang enggan membenarkan salah paham ayahnya, malah menjawab, ‘Aktingnya Kim Tae-hee emang cantik banget di situ, Pa.’


Satu bulan sehabis putus cinta. Alfred secara perlahan-lahan menjajal untuk beraktivitas kembali. Alfred mulai memperoleh kenyataan bahwa beliau di-unfollow oleh Lisa di Instagram, suatu konfirmasi bahwa beliau memang benar diputusin. Karena, di zaman sosial media menyerupai kini ini, putus cinta gres sah kalau semua foto dengan mantan sudah dihapus, dan akun kita sudah di-unfollow. Sebelum itu terjadi, masih ada cita-cita untuk terjadi keajaiban.

Alfred juga sudah mulai memperoleh kenyataan untuk memasukkan semua barang dari Lisa ke dalam kotak kardus coklat, dan menyimpannya di pojok kamar. Alfred perlahan sudah bisa menerima, bahwa beliau mesti melanjutkan hidupnya. Alfred juga tahu, di antara hal yang bikin nyesek menyerupai ini, beliau masih bisa bersyukur: di tengah pandemi beliau masih bisa WFH dari kantor, tabungannya cukup, dan keluarganya semua sehat. Tidak siapa pun seberuntung dia.

Satu hal yang bikin Alfred sukar move on: gerimis. Dalam setahun pertama mereka pacaran, Alfred pernah mengirimkan Lisa pulang, dikala itu sedang ada gerimis. Lisa bilang terhadap Alfred, ‘Aku suka gerimis. Pas aja gitu, belum hingga hujan yang bikin orang kedinginan, tetapi udah tidak mendung yang bikin orang muram. Gerimis itu hawa yang pas buat aku.’

Alfred membalas pada dikala itu, ‘Gerimis juga dikala yang sempurna untuk jatuh cinta.’

‘Ih apa sih, norak,’ kata Lisa dikala itu, padahal bahagia dalam hati. Di bawah gerimis sore itu, di dalam kendaraan beroda empat Alfred, api di dada mereka berdua terasa begitu hangat.

Tiga bulan sehabis putus, Alfred masih belum mau menyetir kendaraan beroda empat di saat mendung. Dia tak mau ada di tengah gerimis dan semua memori malam itu luber keluar tanpa kendali. Di dikala ini juga Alfred menyaksikan suatu iklan sederhana dari artikel seorang temannya: drive in cinema. Nikmati pengalaman nonton di layar besar, film-film di bioskop dari dalam mobil. Alfred sudah kangen sekali menonton film layar lebar, dan nonton di dalam kendaraan beroda empat merupakan penyelesaian yang paling masuk nalar di tengah pandemi menyerupai ini.

Alfred bermaksud menenteng mobilnya, Toyota Corolla tahun 2008 yang beliau dengan besar hati beli dengan tabungannya sendiri. ‘Biar bekas, yang penting tidak ngutang,’ kata Alfred sehabis berjabat tangan dengan pemilik sebelumnya. Ketika Alfred menutup pintu kendaraan beroda empat itu, kenangan terhadap Lisa kembali terjadi. Sekelebat, memori antar-jemput Lisa dari kantor ke rumahnya nyaris setiap hari, terngiang kembali di kepalanya. Air matanya, tidak beliau sadari, kembali menggenang. Di luar, Ibu Alfred yang sedang membaca buku di teras rumah, menyaksikan anaknya menangis. ‘Pa, kata ibunya, mengundang bapaknya.’ ‘Ya, Ma,’ kata bapaknya menghampiri. ‘Kayanya Alfred mesti ngurangin nonton drama Korea, deh.’ Bapaknya mengangguk setuju.

Mobil Alfred menembus jalanan yang ramai, seolah tidak ada pandemi yang sedang terjadi. Dia memasukkan kendaraan beroda empat di tengah mobil-mobil lain. Seorang karyawan drive in tiba menenteng popcorn. Aroma jagung bakar yang sudah enam bulan itu tidak beliau hirup. Ternyata, hal-hal kecil menyerupai ini yang beliau rindukan. Maklum, dua ahad sekali, beliau pergi bareng Lisa ke bioskop.

Film yang bermain hari itu merupakan Grease, suatu film tahun 1978. Alfred menyandarkan kursinya. Dia menyaksikan film tersebut bermain. Pikirannya justru mengawang-awang. Dia tidak menyimak. Gambar yang bermain di depannya terlihat cuma menyerupai potongan-potongan adegan tanpa arti, alasannya merupakan asumsi sibuk berlangsung sendiri. Dia berandai: kalau gue masih pacaran, Lisa mungkin ada di sebelah gue.

Di tengah-tengah film, tiba-tiba pintu kacanya diketuk.
Alfred menoleh ke arah kaca.

Jantung Alfred berhenti dua detik, dikala beliau tahu yang mengetuk merupakan Lisa. Lisa mengernyitkan alisnya, beliau terlihat gusar. Lisa terburu-buru ke arah pintu penumpang, beliau menjajal membukanya, tetapi pintu masih terkunci.

‘Buka kuncinya,’ kata Lisa.

Alfred masih bengong.
‘Buka kuncinya, Fred.’
‘Iya,’ kata Alfred, ngomongnya agak tergagap, ada diambang terkejut dengan tidak siap. Melihat mantan pacar menyerupai ini menyerupai menyaksikan hantu: sesuatu yang pernah hidup, tetapi kini gentayangan.
Lisa masuk ke dalam kendaraan beroda empat Alfred. Dia memakai baju pink hari itu. Rambut ikalnya terlihat bercahaya diterpa gambar dari layar besar di depan mobil. Alfred masih bengong, tidak siap dengan ini semua. Dia masih belum mengucapkan satu patah kata pun.
‘Kamu ngikutin aku?’ tanya Lisa. Suaranya cukup terperinci untuk didengar di antara pembicaraan dan musik film yang masih terus bermain.
‘Ngikutin?’ balas Alfred.
‘Iya, kau ngikutin saya ke tempat ini? Aku tadi lagi nonton di depan, terus saya lihat ke sebelah kiri belakang, kok ada kendaraan beroda empat kamu. Fred, ini serem lho.’
‘Gak ada yang ngikutin siapa-siapa,’ balas Alfred.
‘Terus kenapa kau di sini?’ tanya Lisa.
‘Ya, menyerupai siapa pun yang lain di sini sih, mau nonton Grease. Kamu ngapain di sini?’
‘Sama, menyerupai siapa pun disini.’
Ada tenang yang tidak nikmat selama beberapa saat.
‘Kamu gak takut?’ tanya Alfred.
‘Takut apa?’
‘Ini, masuk ke kendaraan beroda empat aku. Kemarin-kemarin kan kau nolak ketemu gara-gara takut virus, ini, kini kau kok bisa eksklusif masuk ke kendaraan beroda empat aku?’
Lisa tersadar, kemudian bertanya. ‘Tapi kau di rumah aja kan?’
‘Iya, di rumah aja. Gak kemana-mana. Gak ketemu siapa-siapa. Papa-mama juga,’ jawab Alfred. ‘Kamu?’
‘Besok satu kantor mau keluar kota, udah dibayarin swab sama bos. Semua dites,’ kata Lisa. ‘Aman.’
‘Baguslah,’ kata Alfred. ‘Gak lucu juga pulang ketemu mantan tiba-tiba sesak napas kan?’
‘Iya gak lucu,’ kata Lisa. Lisa menyaksikan tajam ke arah Alfred, beliau terlihat penasaran. ‘Aku mesti tanya langsung. Jawab jujur. Ini bener kebetulan kau ada di sini? Di dikala yang serempak dengan aku?’
‘Ini bener kebetulan,’ jawab Alfred, mengkonfirmasi. Lisa tahu Alfred berkata yang sejujurnya. Lima tahun berpasangan, beliau tahu kehabisan Alfred: setiap kali Alfred berbohong, secara tidak sadar beliau menggaruk hidungnya. Lisa tidak pernah menginformasikan kehabisan ini terhadap Alfred. Sungguh, berkah seorang pacar merupakan kesanggupan untuk mendeteksi kebohongan pasangannya.
Lisa menghela nafas panjang. Dia kemudian memegang gagang pintu, bersiap untuk keluar, ‘Aku pergi du-’
Belum sempat Lisa menyelesaikan kalimatnya, Alfred bertanya, ‘Kenapa sih kau putusin aku.’
Lisa tidak menjawab.
‘Kenapa?’ tanya Alfred, lagi.
‘Ini bener-bener mau dibahas, nih?’ tanya Lisa.
‘Yang tidak selesai, mesti dibahas dong,’ kata Alfred.
‘Buat saya udah selesai, kurang terperinci apa lagi? Foto udah saya hapus, kau udah saya unfollow,’ kata Lisa.
‘Buat saya belum.’ Alfred menyaksikan mata Lisa. ‘Jadi, kenapa?’
‘Cintanya hilang,’ jawab Lisa, singkat.
‘Hilang?’
‘Iya, suatu hari saya bangun. Telponan sama kamu, terus, udah. Gak ada apa-apa. Aku gak ngerasain apa-apa lagi,’ kata Lisa. ‘Hilang begitu aja. Aku juga gak ngerti. Jujur, saya juga gelisah kenapa saya begini.’
‘Bosen?’ tanya Alfred.
‘Mungkin. Tapi yang jelas, klarifikasi paling sederhana: cintanya sudah tidak ada lagi. Maaf, itu sejujur-jujurnya. Aku juga gak tahu kenapa. Mungkin, kini kita udah jadi orang yang beda.’
‘Lima tahun itu waktu yang usang lho,’ kata Alfred.
‘Dan saya gak mau menghabiskan lima tahun lagi dengan orang yang salah,’ ucap Lisa. ‘Mungkin ini sakit buat kamu, tetapi mendingan sakit kini dibandingkan sakit nanti-nanti.’
Alfred terdiam. Dia kemudian menyaksikan tajam ke arah Lisa, ‘Kamu salah sih, saya gak berubah. Aku orang yang serupa dengan yang kau jumpai 5 tahun lalu. Aku orang yang sama, yang ngantri di belakang kau di KFC Kemang. Aku orang yang serupa yang kau minta tolong malam itu. Aku masih inget, kau ada di depan kasir, sendirian, mau bayar makanan, terus kau nengok ke belakang, kau bilang, ‘Sori, boleh pinjem lima puluh ribu gak, gue kontrak bakal gue ganti. Gue gak bawa duit. Maap banget.’ Abis itu kita kenalan, kemudian kita makan satu meja.
Aku masih ingat itu semua. Kata per kata.
Aku orang yang sama, Lisa. Aku masih sayang kamu.’
‘Iya,’ kata Lisa. ‘Tapi saya orang yang beda.’
Alfred terdiam.
Alfred dengan bingung berkata, ‘Terus, ingatan-ingatan kita gimana? Kamu mau apain? Aku ada lho, di saat kau lulus, saya ada di saat kau butuh interview kerja, hingga malam saya temenin kau latihan pakai bahasa inggris.’
‘Kamu gak bisa gitu dong,’ balas Lisa. ‘Aku juga ada kok, pas kau minta ditemenin skripsi di perpustakaan daerah, saya ngorbanin gak kumpul sama temen-temen vokal grup aku. Aku juga ada. Berpasangan bukan dilema itung-itungan, Fred. Ini sederhana: saya sudah berubah. Cintanya sudah hilang,’ kata Lisa.
‘Apa yang berubah?’ kata Alfred.
‘Semuanya. Mimpi aku, sifat aku. Selera aku. Band yang kita dengerin dahulu bukan lagi favorit aku.’
‘Sheila on 7?’ tanya Alfred.
‘Itu masih.’ Lisa menatap nanar ke depan. ‘Yang yang lain tidak. Kamu kalau dalam posisi saya juga niscaya begini, Fred. Kamu mau kita masih pacaran, tetapi pasangan kau sudah gak ada rasa. Itu gak adil buat kamu, dan gak adil juga buat aku. Orang berubah, itu wajar. Akan ada masanya dua orang saling berpisah jalan, kau gak salah, saya juga gak salah. Tolong, ngertiin itu, dong.’
Alfred mengangguk, argumen Lisa ada benarnya.
‘Terus saya mesti ngapain sekarang?’
‘Ya kau mesti relain aku. Aku percaya kok kau niscaya nemu orang yang lebih cocok, yang lebih baik dari aku. Yang lebih layak buat kamu. Yang terima kau menyerupai ini apa adanya.’
Alfred terdiam.
Dia menengok ke arah depan kanan. Alfred bertanya, ‘Mobil kau mana?’
‘Gak ada.’
‘Gak ada?’
Lisa mengangguk.
‘Kamu kesini naik apa?’
‘Itu,’ kata Lisa menunjuk suatu mobil. ‘Mobil itu.’
Mata Alfred mengarah ke suatu kendaraan beroda empat Honda HRV berwarna hitam. Dia menyaksikan ada siluet lelaki sedang membuka handphone, terlihat tidak memperhatikan film yang bermain di depannya. Mata Alfred terbuka lebar. ‘Kamu dateng… sama… perjaka lain?’ tanya Alfred.
‘Iya, saya tiba sama perjaka lain,’ kata Lisa.
‘Kamu mutusin aku, gara-gara dia?’ tanya Alfred, menghimpun keberanian untuk bertanya.
‘Kalau kau nuduh saya selingkuh, jawabannya: tidak. Aku gres dikenalin ahad lalu. Ini pertama kali kami pergi bareng.’ kata Lisa. ‘Tenang aja, saya gak sejahat itu.’
Alfred mengangguk.
Dia tahu itu benar.
‘Fred, saya udah maju ke depan dengan hidup aku.’ kata Lisa. ‘Yang terbaik buat kau merupakan untuk melanjutkan juga hidup kamu. Sampai jumpa, Fred. Terimakasih buat lima tahun ini.’
Alfred terdiam.
Lisa berkata, ‘Janji kau bakal cepat ngelupain aku.’
Alfred masih terdiam.
‘Janji,’ kata Lisa. ‘Please.’
‘Janji,’ kata Alfred, sambil mengangkat tangan kanan, dan menggaruk hidungnya.
Lisa menghela nafas panjang. Air matanya mulai terkumpul.
‘Dah,’ kata Lisa. Dia terburu-buru turun dari mobil.
Lisa masuk ke dalam mobilnya, beliau menceritakan jujur apa yang terjadi terhadap lelaki di sebelahnya. Laki-laki itu menoleh ke arah Alfred, sekilas, tetapi lantas beliau tidak peduli. Mereka melanjutkan menonton film.
Alfred masih menyaksikan dari dalam mobil. Tanpa sadar, ada gerimis yang berjatuhan di atas kendaraan beroda empat menghasilkan ketukan-ketukan kecil yang mengiringi lamunan Alfred malam hari itu. Alfred menyaksikan ke beling mobilnya, menyalakan wiper, sambil berharap gerimis kali ini membasuh patah hatinya pergi.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel