Cium (Cerita Pendek Horor Komedi) Raditya Dika

Cium (Cerita Pendek Horor komedi) Raditya dika

Untuk dua orang yang sedang kencan pertama, menyebarkan dongeng horor mungkin hal terakhir yang semestinya mereka lakukan. Tapi, inilah yang terjadi dengan Oki dan Rahma. Inilah yang terjadi kalau dua orang telah kekurangan materi obrolan.

Mereka berdua duduk di ruang tunggu kosan Rahma, sesaat sehabis mereka nonton film di Epicentrum Walk. Kosan ini khusus putri, ibu kosnya galak, dan tamu pria cuma boleh hingga di ruang tunggu. Tamu pria bahkan dihentikan memakai toilet, alasannya terakhir kali ada pacar seorang penghuni kos numpang buang air besar di toilet tamu, pintunya lupa dikunci. Si tamu sih asik aja jongkok menghadap ke depan pintu berjuang dengan hebat, tetapi begitu ada perempuan, penghuni lain, membuka pintu itu, si tamu terkejut hingga berguling di lantai dan si wanita menjerit membangunkan seisi kos malam itu.

Di atas sofa coklat kosan, dengan kaki naik ke atas, Rahma mulai membuka dongeng horor. Cerita yang patokan saja, mengenai bagaimana Rahma dulu, di saat kecil, pernah menyaksikan sosok wanita berbaju putih terbang di depan jendela kamarnya. Cerita horor mengenai penampakan, yang sering kita lihat di lembaga internet, blog, artikel, yang terkadang kita pertanyakan: faktual atau tidak.

‘Kalau kamu? Ada gak dongeng horor?’ tanya Rahma, ingin gantian mendengarkan.
‘Kenapa mesti banget dongeng horor jam segini?’ tanya Oki, menyaksikan ke arah jamnya. Waktu menampilkan pukul 9 malam. Rahma merajuk. ‘Film yang kita tonton tadi kurang seram. Aku mau yang seram.’
‘Aku gak tahu ini mengerikan atau tidak, tetapi saya ada cerita,’ kata Oki. ‘Masalahnya cuma satu. Kalau saya udah dongeng ini, kau tidak dapat ceritain lagi ke siapa-siapa.’
Rahma mengangguk. ‘Aku komitmen gak bakal dongeng ke siapa-siapa.’
Oki menegakkan duduk. Dia memandang ke tampang Rahma. Dia tersenyum tipis, kemudian berkata, ‘Begini ceritanya…’

Aku sekolah di suatu Sekolah Menengah Pertama swasta di Bandung. Waktu itu tahun 2005, ibuku gres saja meninggal, ditabrak kendaraan beroda empat di saat ia mengirimkan saya naik motor ke wilayah les Bahasa Inggris. Aku selamat, tetapi saya mulai jadi anak yang pemurung. Tidak usang sehabis itu, bapakku gulung tikar dari usahanya, hidup keluarga kami jungkir balik. Hampir setiap ahad ayahku berkata, ‘Kayaknya, kau bawa sial ke keluarga ini.’
Ayahku terlalu sombong untuk memindahkan anaknya ke sekolah negeri. Jatuh miskin yakni hal terakhir yang ayah tidak izinkan orang untuk tahu mengenai keluarga kami. Menutupi kegagalan perlu kerja keras lebih keras ketimbang mencari kesuksesan. Buat saya menutupi bekas pukulan dari ayahku, juga perlu usaha, biar tidak digosipkan oleh satu sekolah.

Di Sekolah Menengah Pertama saya berkawan dengan dua orang, yang pertama yakni Kevin, anak seorang pemilik tambak udang di Cirebon, dan Yudi, anak orang kaya yang latar belakang keluarganya masih menjadi misteri. Banyak orang yang bilang bapaknya koruptor, ada juga yang bilang berandal judi, tetapi tidak ada yang tahu pasti. Buatku yang penting Yudi masih mau berteman denganku, walaupun di sekolah ia kondang menyebalkan.
Sepulang sekolah, di bawah langit yang setengah mendung, Yudi bilang kepadaku, ‘’Oki,’ kata Yudi. ‘Mau ikut saya sama Kevin taruhan gak?’
‘Apa?’ tanyaku.
‘Kamu tahu Rumah Kelok?’ tanya Yudi.
‘Tahu,’ jawabku, singkat. Satu sekolah tahu Rumah Kelok, suatu rumah bau tanah di suatu belokan, bersahabat pasar. Rumah itu telah terbengkalai cukup lama, tidak ada yang tahu siapa pemiliknya, dan menjadi urban legend di bibir warga sekitar. Ada yang menyaksikan sosok di jendela lah, ada yang mendengar jeritan wanita lah, tetapi tidak ada yang punya bukti pasti.
Yudi berkata serius. ‘Kata Aryo anak 3C, di halaman belakang Rumah Kelok, ternyata ada pintu menuju ruang bawah tanah. Mereka sempet iseng lihat-lihat kesana, ngebuka pintunya, dan ada patung manis di situ.’
‘Patung cantik?’ tanya Kevin.
Yudi mengangguk.
‘Ada suatu patung, tiduran, di lantai. Patung wanita cantik. Tapi ya, kau tahu lah anak 3C kan cemen-cemen, jadi mereka tidak berani turun, kemudian pergi. Kata Aryo sih temannya ada yang asmanya kumat, makanya mereka tidak melanjutkan ke bawah. Tapi saya rasa itu cuma alasan.’
‘Terus kita ngapain?’ tanyaku.
‘Kita ke sana dahulu saja.’ Yudi kemudian melangkah pergi.

Kami memasuki Rumah Kelok lewat lubang di pagarnya. Ini yakni suatu rumah tingkat dua, dari luar terlihat terlalu simetris, pintu di tengah dengan jendela berupa persegi panjang, memanjang ke bawah. Ketika kami memasuki pekarangan, hawa hambar pribadi terasa. Bau lumut bercampur jamur terasa menusuk, masuk ke hidung. Ini jelas, rumah yang kesepian, pikirku.

Di halaman belakang rumah, betul, ada satu buah pintu baja yang tertanam di lantai. Yudi menjajal mengangkat pintu tersebut, tetapi ia kesulitan. Kami perlu bertiga untuk mengangkatnya. Ketika dibuka, pribadi terlihat tangga menuju pecahan bawah, suatu ruang kosong lapang di bawah tanah. Kami bisa menyaksikan dengan samar, ada sosok patung wanita di dalamnya. Tiduran di lantai.
‘Aryo gak bohong,’ kata Yudi.

Aku menelan ludah. ‘Terus? Apa taruhannya?’
‘Kita gambreng aja, gak usah susah-susah,’ kata Yudi.
‘Yang kalah ngapain?’ tanya Kevin.
‘Yang kalah,’ kata Yudi, ia menoleh ke arah sosok patung di lantai. ‘Cium patung itu.’
‘Cium?’ tanya Kevin.
‘Cium. Di bibir,’ jawab Yudi.
‘Ya ampun masa kalau saya kalah ciuman pertamaku sama benda gak bernyawa?’ Kevin terlihat gusar. ‘Sedih amat nih bibir.’
Aku masih menyaksikan patung itu, bentuknya tidak jelas, tetapi saya bisa menyaksikan kepalanya, sedikit terkena cahaya. ‘Itu gelap banget sih di bawah.’
Yudi mengeluarkan senter besar dari dalam tas punggungnya, senter merah brand AOKI berskala jumbo, 15 watt. Yudi sungguh niat.
‘Ya udah yuk,’ kataku.

Kami bertiga gambreng, dan menyerupai nasib yang sedang tidak ramah terhadap keluargaku belakangan ini, hari ini pun saya ditimpa sial. Aku satu-satunya dengan telapak yang menghadap ke atas. Untuk gambreng saja saya tidak dapat menang.
Yudi menampilkan senter kepadaku. ‘Semangat ya.’
Aku menuruni satu demi satu anak tangga. Bunyi langkah kaki perlahan menggema di ruangan gelap itu. Aku berdiri di depan patung tersebut. Dengan santunan senter, semua terlihat terang sekarang. Patung ini manis sekali, seluruh badannya yang dibikin dari porselin berwarna putih pucat. Patung ini tidur lurus, mata putih semua, dengan mata yang lebih manis dari artis sinetron mana pun. Seolah di suatu dongeng, patung ini menyerupai seorang putri tidur, menanti dibangunkan oleh seorang pangeran.

Aku menyaksikan ke arah ujung tangga atas, di sana, Yudi dan Kevin menyaksikan dengan sarat antisipasi. Ini mudah kok, pikirku, tinggal menempelkan bibir ke patung ini. Tapi kenapa saya merasa ragu? Melihatku yang membisu saja, Yudi menjerit, ‘Jangan jadi orang cemen!’
Aku kemudian menutup mata, secara perlahan saya mencium bibir patung itu. Rasanya hambar dan lembab. Rasanya menyerupai menjalankan sesuatu yang salah. Dengan perlahan saya mengangkat kepalaku. Melihat ke arah patung. Mataku mengarah terhadap suatu kertas kecil yang dipasang di dada patung tersebut, kertas bertuliskan aksara kuno, menyerupai toge bungkuk yang dijajarkan dengan arah yang berbeda-beda. Aku mencopotnya, memerhatikan goresan pena itu, kemudian membuangnya ke lantai.
Aku berbalik, dan bersiap untuk pergi keluar. Tantangan telah selesai. Tiba-tiba saya mendengar bunyi pintu. Brak! Pintu jalan keluar ditutup oleh Yudi. Aku berlari ke ujung, menggedor pintu yang ia tutup. ‘Buka pintunya!’

Yudi tertawa. ‘Kamu nyantai dahulu aja di situ, kami mau lihat-lihat rumahnya.’
‘Keluarin!’ Aku mulai panik. ‘Keluarin sekarang!’
‘Oki, santai aja, kami komitmen niscaya balik kok. Cuma lihat-lihat sebentar,’ kata Yudi.
‘Paling usang setengah jam, Ki,’ kata Kevin. ‘Kami niscaya balik.’
Mereka kemudian berlangsung menjauh. Aku bisa mendengar bunyi tawa mereka.
Aku berlangsung perlahan ke bawah kembali, mencari jalan keluar lain, mengarahkan senter ke seluruh penjuru ruangan. Ruangan ini cukup besar, tetapi seluruhnya tembok. Entah apa yang dipikirkan pemilik sebelumnya, meninggalkan patung di ruang tersembunyi menyerupai ini, di ruang kosong, tanpa ada apa-apa. Aku memicingkan mata, menyaksikan ada aksara yang sama, dengan kertas yang kubuang tadi, terukir di tembok. Aneh.

Lalu, saya tidak akan pernah lupa apa yang terjadi berikutnya. Di heningnya ruangan ini, ada bunyi ukiran terdengar. Pelan sekali. Sssk. Sssk. Sssk. Aku mengarahkan senter ke belakang. Tidak ada apa-apa. Aku mengarahkan senter ke samping. Tidak ada apa-apa. Tapi bunyi itu terus mengganggu. Ssssk. Ssssk. Ssssk.

Lalu di saat saya mengarahkan senter ke atas. Di situ saya menyaksikan dia. Sebuah sosok manusia, sedang merayap di langit-langit rumah. Tangannya sama panjang dengan kakinya. Aku tidak tahu ia memakai baju atau tidak, tetapi rambut panjangnya menutupi nyaris semua pecahan tubuhnya. Menjuntai dari atas langit-langit. Diam memandangiku.

Sosok itu bergerak pelan. Ssssk. Tangannya menapak di langit-langit, melekat tanpa mesti mencengkram. Kakinya bengkok hingga dengkulnya nyaris mengenai tulang rusuknya. Kepalanya menoleh ke arahku. Lalu, wajahnya. Oh, tampang itu. Matanya terbuka besar. Pipinya sobek di sebelah kiri, sehingga giginya bisa terlihat walaupun mulutnya tidak terbuka. Dia menawan napas panjang, kemudian ia membuka mulutnya, berkata, ‘Halo sayang.’

Aku hendak berlari, tetapi kaki tidak dapat bergerak. Aku hendak menjerit tetapi tornado adrenalin terlalu tinggi hingga menghasilkan mulutku lumpuh. Aku gemetaran. Tidak bisa ngapa-ngapain. Napasku mendera menyerupai tembakan senapan otomatis. Jantungku memompa terlalu kencang hingga saya mulai pusing.

Ada keheningan beberapa saat, hingga kesudahannya saya menghimpun keberanian untuk bertanya, ‘Kamu siapa?’
‘Aku?’ tanya sosok itu. ‘Aku dosa yang manis, sayang.’
Sosok itu perlahan merayap ke arah tembok, bergerak ke arahku. ‘Aku yang kau keluarkan dari penderitaan panjang. Yang kau cium. Yang kau bebaskan.’
‘‘Kamu hantu?’ tanyaku.
Dia tertawa, ‘Hantu tiba dari orang yang telah meninggal, sayang. Aku tiba dari ketiadaan. Aku tiba dari mimpi buruk di setiap tidur panjang orang yang serakah.’
Napasku menggebu. Sosok itu maju ke depanku. Wajahnya tepat ada di depan wajahku. Dia memandang mataku tajam. Aroma asing tercium di hidung, anyir yang belum pernah saya jumpai sebelumnya, adonan antara bunga melati dan bangkai sarat belatung.
‘Kamu mau apa?’ tanyaku.

‘Aku butuh pramusaji baru. Untuk hidup sama-sama. Aku butuh perjanjian yang baru, sayang.’
‘Aku?’ Jari-jariku gemetaran tanpa kontrol.
‘Tidak, tidak, tidak.’ Dia kemudian berkata, ‘Kamu saya lepaskan, alasannya kau yang membebaskanku. Pilih. Di antara dua temanmu itu. Dua bongkah daging berlangsung di ujung pintu tadi. Siapa yang mau saya jajah? Siapa yang mau saya hinggapi, rongga di dadanya? Siapa yang memberiku makan?’
‘Makan?’ tanyaku.

‘Tidur terlalu usang akan menghasilkan siapapun lapar, bukan?’ tanya ia kepadaku. Aku kian gusar. ‘Apa yang terjadi kalau saya menampilkan kau terhadap mereka?’
‘Aku akan hidup bareng mereka. Ada dalam diri mereka. Lalu saya akan makan dari cinta di bersahabat mereka. Dari orang bau tanah mereka. Dari kawan dekat mereka. Pelan-pelan. Aku suka makan pelan-pelan. Akan yang ada sakit. Akan ada yang kecelakaan. Akan ada awan hitam di sekeliling mereka pergi. Aku suka makan pelan-pelan.’

Dia tersenyum lebar, kemudian melanjutkan, ‘Tapi saya paling suka makan sekaligus rasa yang paling nikmat: rasa cinta yang bersemi di bersahabat mereka. Setiap wanita yang jatuh cinta dengan mereka akan saya ambil untuk saya jadikan kudapan. Mmmmmmh.’ Dia menutup matanya, seolah membayangkan suatu kenikmatan.
Aku masih mendengarkan.

‘Ketika malam tiba saya akan tiba ke wilayah tidur wanita itu. Masuk ke mimpinya. Mengunyah nyawanya dari dalam, jengkal demi jengkal. Pelan-pelan, kemudian cepat-cepat. Pagi-pagi, wanita itu akan mati dengan lisan menganga dan mata putih semua. Karena itu yang patut untuk suatu kudapan: pecahan tersisa untuk dibuang ke tong sampah.
Aku terlihat takut. ‘Kasihan temanku, dong. Hidupnya akan berubah.’
‘Oh jangan kalut sayang, hidup mereka akan berubah. Mereka akan kaya raya. Keberuntungan akan datang. Karena itu lah kenapa dahulu saya dipelihara. Semesta ini adil, sayang: setiap kemalangan mesti diseimbangkan dengan kemewahan. Aku bisa menampilkan itu. Aku bisa menghasilkan semua mimpi mereka, menjadi lebih indah dari khayalan paling liar sekalipun. Mereka akan lupa rasanya ingin. Mereka akan lupa rasanya butuh. Karena semua, telah ada.’
‘Hidup yang sempurna?’ tanyaku.
‘Lebih tepat dari kesempurnaan itu sendiri. Kamu tidak dapat bayangkan, sayang. Kamu tidak bisa.’

Terdengar bunyi langkah kaki dan bunyi Yudi dan Kevin sedang mengobrol, mendekat ke arah pintu keluar. Sebentar lagi mereka akan datang.
‘Siapa pun yang kau pilih, saya turuti,’ kata sosok itu. Dia kemudian mendekat, dan mendekat, dan mendekat, hingga matanya nyaris melekat mataku. Lalu ia berkata, tampang dimiringkan, setengah tidak sabar, ‘Jadi siapa yang mau membawaku pulang hari ini?’

Oki dan Rahma masih duduk berdua di atas sofa coklat kosan. Rahma memegang tangan Oki yang gres saja selesai bercerita. Dia terlihat puas menyimak dongeng Oki. Rahma takjut. ‘Itu serem sih. Ceritaku soal sosok putih mah gak ada tandingannya, dengan apa pun yang kau alami waktu itu.’
Lampu kosan tiba-tiba kedap-kedip. Begitu cara Ibu Kos menginformasikan kalau waktu bertamu telah terlalu malam. Rahma menghela napas panjang, kecewa ia mesti berpisah dengan Oki.
‘Baiklah.’ Oki berdiri dari sofa, ia berkata, ‘Itu tandanya saya mesti pulang. Makasih buat hari ini ya.’
Rahma tersenyum. ‘Iya, sama-sama.’
Oki berlangsung ke arah pintu, ia kemudian membalikkan badannya, ‘Kamu gak penasaran? Siapa yang saya pilih? Dia pulang sama siapa?’
Rahma berkata, ‘Ah, itu sih udah ketebak. ‘Pasti Yudi, kan? Secara ia yang paling nyebelin.’
Oki tidak menjawab.
‘Ya kan?’ tanya Rahma, lagi.
‘Misteri yakni komponen paling penting dari suatu dongeng horor, jadi saya biarkan begitu saja ceritanya,’ kata Oki, kemudian tersenyum. Rahma cuma mengangguk. ‘Oke, fair juga.’
‘Oh by the way,’ kata Rahma. ‘Makasih udah dongeng ya. Aku pegang janjiku tadi, saya komitmen gak bakal dongeng ke siapa-siapa.’
‘Iya, saya tahu kok,’ kata Oki. Dia mendekat, kemudian mendekat. Matanya memandang mata Rahma, tajam. ‘Aku tahu kau gak akan bisa dongeng ke siapa-siapa.’

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel